Rabu, 11 April 2012
Keindahan gunung
Seorang anak
mengungkapkan rasa
penasarannya kepada
ayahnya. “Yah, seperti apa
sih rupa gunung itu?” Sang
ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita
berangkat menuju gunung.
Akan kamu lihat seperti apa
wajah gunung itu.” Berangkatlah mereka
berdua dengan mengendarai
mobil. Perjalanan lumayan
lama, karena jarak antara
tempat tinggal mereka
dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu
empat jam dengan mobil.
Jarak yang lumayan jauh.
Bahkan sangat jauh untuk
ukuran seorang anak usia
enam tahun. Ketika perjalanan sudah
menempuh hampir separuh
jarak, anak itu berteriak,
“Hore, gunungnya sudah
kelihatan.” Dari balik kaca
mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu
anggun. Puncaknya
menjulang ke langit nan
biru dan menembus awan
putih. “Oh, indahnya
gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar
kagum. Mobil pun terus melaju.
Jalan yang ditempuh tidak
lagi lurus dan datar, tapi
sudah berkelok dan naik
turun. Wajah gunung pun
terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai
tampak walaupun cuma
didominasi warna. Anak itu
berujar lagi, “Oh, ternyata
gunung itu berwarna hijau.
Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.” Sambil menikmati
pemandangan sekitar, anak
itu pun menyanyikan lagu:
“Naik naik ke puncak
gunung, tinggi tinggi
sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah
dataran yang sangat tinggi.
Dari situlah mereka bukan
hanya bisa melihat wajah
gunung yang asli, tapi juga
bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka
sudah berada di puncak
gunung. “Gunungnya mana, Yah?”
tanya anak itu keheranan.
“Inilah wajah gunung yang
kamu cari, tanah yang
sedang kita injak,” jawab
sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak
dan menurun. Anak itu
agak heran. “Ini? Tanah
yang gersang ini? Tanah
yang cuma berisi batu dan
pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?” Sang ayah mengangguk
pelan. Ia menangkap warna
kekecewaan yang begitu
dalam pada diri anaknya.
“Anakku, mari kita pulang.
Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan.
Mungkin, dari sanalah kita
bisa mengatakan bahwa
gunung itu indah…” *** Ketika seseorang sudah
menjadi ‘gunung-gunung’ di
masyarakatnya. Di mana,
wajahnya bisa dilihat orang
banyak, suaranya didengar
banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang
yang melihat dan
mendengar tokoh baru itu.
Mereka ingin tahu, seperti
apakah wajah sang tokoh
ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan
rumah tangganya, dan hal-
hal detil lain. Sayangnya, tidak semua
‘gunung’ yang terlihat indah
ketika jauh, benar-benar
indah di saat dekat. Para
peminat yang ingin dekat
dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata,
‘gunung’ yang dari jauh
indah itu, menyimpan
banyak cacat. Keindahannya
semu. Mari, kita bangun ‘gunung-
gunung’ diri yang benar-
benar indah: baik dari jauh,
apalagi dekat. Jangan
biarkan mereka yang
semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada
orang-orang yang berujar
persis seperti sang ayah
bilang, “Anakku, mari kita
menjauh. Mungkin hanya
dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa
‘gunung’ itu indah…”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar